RUU Hukum Acara Pidana dan Hak Asasi Manusia

  • Beranda
  • HAM
  • RUU Hukum Acara Pidana dan Hak Asasi Manusia

Pemerintah dan DPR RI mengagendakan Indonesia akan memiliki hukum acara pidana yang baru seiring dengan berlakunya KUHP Baru yang akan berlaku efektif pada 2 Januari 2026. Hukum acara pidana baru ini diharapkan akan menggantikan KUHAP yang saat ini berlaku yang telah menjadi rujukan utama dalam proses peradilan pidana selama 45 (empat puluh lima) tahun terakhir. Rencana Pemerintah dan DPR RI untuk membentuk hukum acara pidana ini dilakukan secara maraton mulai bulan Maret 2025, dan akan diundangkan sebelum tahun 2025 berakhir. Sehingga, pada 1 Januari 2026 hukum acara pidana baru akan berlaku efektif.

Pembentukan hukum acara pidana yang baru ini tidak dapat dilepaskan dari keberlakuan KUHAP yang dianggap telah ketinggalan zaman dan tak mampu lagi merespon dinamika masyarakat dan sistem hukum yang telah berubah dan semakin berkembang. Ketentuan dan aturan-aturan yang terdapat di dalam KUHAP dianggap sudah obsolete dan dan tidak dapat lagi mengimbangi perkembangan hukum dan peraturan perundang-undangan. Terlebih sejak reformasi 1998, telah banyak lahir peraturan perundang-undangan yang substansinya beririsan dengan hukum acara pidana. Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi juga banyak mengoreksi atau membatalkan ketentuan-ketentuan di dalam KUHAP. Situasi inilah yang mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk mempercepat proses pembahasan RUU Hukum Acara Pidana.

Menurut Wakil Menteri Hukum, Prof. Eddy OS Hiariej, pembentukan RUU Hukum Acara Pidana ini dimaksudkan untuk “mewujudkan hukum yang memiliki nurani keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum sehingga dapat membawa perubahan yang signifikan terhadap penegakan hukum,”. Menurutnya, RUU KUHAP mengandung beberapa penguatan norma untuk menyempurnakan hukum acara pidana, di antaranya penguatan hak tersangka, terdakwa, dan terpidana; pengaturan mekanisme keadilan restoratif; penguatan peran advokat; pengaturan saksi mahkota; hingga pengaturan sistem informasi peradilan pidana terpadu berbasis teknologi informasi.[i]

Sampai dengan 11 Juli 2025, RUU KUHAP yang saat ini dibahas terdiri dari 334 Pasal[ii] dan 2160 ayat.[iii] Proses pembahasan dilakukan dengan super cepat mengingat tengat waktu pengesahan yang dikejar. Sebelum akhir masa sidang Desember 2025, RUU KUHAP harus sudah diketok DPR RI.

Niat baik Pemerintah dan DPR RI untuk merekonstruksi sistem hukum acara pidana agar lebih adil, efisien, dan manusiawi ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Berbagai isu miring terkait proses pembahasan yang dinilai tidak partisipatif dan membatasi aspirasi publik, substansi RUU KUHAP juga ditengarai diselimuti berbagai masalah yang akan berimplikasi pada proses pemajuan dan penikmatan hak asasi manusia di di Indonesia. Sejumlah ketentuan dalam RUU KUHAP masih menunjukkan kecenderungan mempertahankan dominasi aparat penegak hukum yang berpotensi akses dan penikmatan hak asasi manusia. Ketentuan-ketentuan mengenai penyidikan, penangkapan, penahanan, penyadapan dan pembatasan pendampingan hukum oleh advokat menunjukkan menunjukkan reformasi hukum acara pidana masih menyisakan masalah.[iv]

Catatan lebih mendalam diberikan oleh Komnas HAM.[v] Komnas HAM memberikan catatan kritis mengenai ketentuan-ketentuan dalam RUU KUHAP yang berpotensi menggerus penikmatan hak asasi warga negara. Terdapat 11 isu yang menurut Komnas HAM perlu diperhatikan oleh Pemerintah dan DPR RI dalam proses pembahasan RUU KUHAP, yaitu: penyelidikan; penyidikan; upaya paksa; pra peradilan; keadilan restoratif; hak-hak tersangka, terdakwa, saksi, ahli, dan korban; hak-hak kelompok disabilitas, perempuan, dan lansia; bantuan hukum; upaya hukum; pembuktian dan koneksitas.

Menurut Komnas HAM, ketentuan mengenai penyelidikan dan penyidikan yang memberikan mandat yang besar kepada aparat penyelidik/penyidik, termasuk kewenangan penggunaan upaya paksa harus diikuti peningkatan kualitas dan mekanisme sistem pengawasan yang ketat, baik dari internal maupun eksternal. Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi terjadinya penyalahgunaan wewenang dan potensi pelanggaran hak asasi manusia, khususnya terhadap saksi, tersangka dan/atau korban. Selain itu, harus ada pembatasan waktu dalam proses penyidikan dan penyelidikan.

Komnas HAM juga mengingatkan agar penggunaan kewenangan upaya paksa sebaiknya digunakan secara ketat dengan indikator-indikator yang jelas dan terukur, serta dibuka peluang kepada pihak yang merasa dirugikan hak-haknya untuk mengajukan keberatan, baik terhadap institusi yang menggunakan upaya paksa tersebut maupun melalui lembaga peradilan.

Memperhatikan proses pembahasan RUU KUHAP dan masih adanya isu-isu krusial dalam RUU KUHAP, sebaiknya Pemerintah dan DPR RI lebih pro aktif dalam menyerap dan mendengarkan aspirasi publik secara serius dan komprehehensif. Proses pembahasan harus dilakukan dilakukan secara terbuka yang memungkinkan partisipasi publik secara bermakna akan terjadi. Sehingga, hukum acara pidana ke depan akan menjadi landasan bagi terciptanya sistem peradilan pidana yang lebih manusiawi, inklusif, dan mampu melindungi martabat setiap warga negara tanpa diskriminasi juga menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan substantif.

[i] https://bphn.go.id/siaran-pers/pemerintah-serahkan-dim-ruu-kuhap-kepada-dpr

[ii] https://www.hukumonline.com/berita/a/koalisi-masyarakat–ruu-kuhap-dinilai-belum-menjawab-masalah-sistemik–rentan-langgar-ham-lt68045bfc1c37f/

[iii] https://www.tempo.co/hukum/koalisi-masyarakat-sipil-tuntut-9-materi-krusial-dalam-ruu-kuhap-1225794

[iv] https://www.hukumonline.com/berita/a/ruu-kuhap–dikejar-waktu–ditinggal-substansi-lt685058e6b2f0f/

[v]https://www.komnasham.go.id/uploads/Penyampaian%20Kajian%20Komnas%20HAM%20tentang%20Revisi%20RUU%20KUHAP.pdf

 

 

Leave A Reply

Subscribe Email Anda untuk mendapat Info terbaru