Menakar Komitmen Indonesia untuk Mewujudkan Net-Zero Emission

Perubahan iklim yang diakibatkan oleh memanasnya suhu global dewasa ini semakin mengkhawatirkan. Situasi ini sudah menjadi perhatian bangsa-bangsa di dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang merilis laporan ilmiah yang memberi peringatan mengenai gelombang panas yang semakin ekstrem, kekeringan dan banjir, serta batas suhu utama yang dilanggar dalam satu dekade.

Pemanasan global ditengarai akan berdampak buruk terhadap bumi dan kehidupan manusia, seperti meningkatnya risiko Kesehatan, memengaruhi pertanian, perubahan iklim secara ekstrem, hingga kepunahan hewan. Dampak-dampak tersebut tentunya akan memengaruhi kualitas kehidupan masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia. Tantangan tersebut perlu direspon secara serius oleh Pemerintah Indonesia, sehingga dampak pemanasan global dapat dimitigasi secara tepat. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab negara untuk memberikan kehidupan yang bermakna bagi masyarakat Indonesia. Apabila hal ini dilakukan, secara otomatis Pemerintah Indonesia telah mengejawantahkan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyebutkan:

“setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”..

Menanggapi hal tersebut, Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan dunia kini menaruh perhatian khusus terhadap perubahan iklim atau climate change. Indonesia sendiri mengimplementasikan program penurunan emisi karbon melalui program RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024, selain itu APBN juga melakukan budget tagging untuk mendukung program-program penurunan emisi karbon atau melakukan transformasi agar kegiatan produksi menjadi semakin bersih.

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mencapai Net-Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat seperti tercantum dalam dokumen Long-Term Strategies for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050). Berdasarkan perhitungan LTS-LCCR 2050, Indonesia mampu mengurangi emisi hingga 50% dari kondisi business-as-usual, terutama dengan dukungan Internasional.

Komitmen tersebut diwujudkan oleh Pemerintah pada 29 Oktober 2021 dengan diterbitkannya Perpres No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Pembangunan Nasional. Perpres ini dibentuk sebagai dasar penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan sebagai pedoman pengurangan Emisi GRK melalui kebijakan, langkah, serta kegiatan untuk pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC) dan mengendalikan Emisi GRK dalam pembangunan nasional.

Target NDC yang dicanangkan Pemerintah Indonesia, meliputi:

  1. menetapkan kebijakan dan langkah serta implementasi kegiatan sesuai komitmen Pemerintah berupa Pengurangan Emisi GRK 29% (dua puluh sembilan persen) sampai dengan 41% (empat puluh satu persen) pada tahun 2030 dibandingkan dengan Baseline Emisi GRK; dan
  2. membangun ketahanan nasional, kewilayahan, dan masyarakat dari berbagai risiko atas kondisi perubahan iklim atau Ketahanan Iklim.

Perpres Nilai Ekonomi Karbon ini terdapat beberapa mekanisme perdagangan karbon yang diatur yaitu perdagangan antara dua pelaku usaha melalui skema cap and trade, pengimbangan emisi melalui skema carbon off set, pembayaran berbasis kinerja (result based payment), serta kombinasi dari skema yang ada.

Peneliti Ahli Madya Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Hadi Setiawan, menyatakan nilai ekonomi karbon merupakan salah satu bagian dari paket kebijakan komprehensif untuk mitigasi perubahan iklim. Nilai ekonomi karbon dilakukan melalui instrumen perdagangan dan non-perdagangan, salah satunya pajak karbon.

Mengacu pada UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, pajak karbon dikenakan dalam rangka mengendalikan emisi gas rumah kaca untuk mendukung pencapaian NDC Indonesia. Pajak karbon akan dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup, Adapun kriteria dampak negatif bagi lingkungan hidup antara lain:

  1. penyusutan sumber daya alam;
  2. pencemaran lingkungan hidup;
  3. kerusakan lingkungan hidup.

Penerapan pajak karbon dan pengembangan pasar karbon merupakan bukti keseriusan Indonesia dalam agenda pengendalian iklim global. Penerimaan negara dari pajak karbon dapat dimanfaatkan untuk menambah dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan, dan memberikan kemakmuran nasional serta  memberi  nilai tambah  yang positif bagi  lingkungan, sosial, maupun ekonomi.

Leave A Reply

Subscribe Email Anda untuk mendapat Info terbaru