Bulan Juni 2021 menjadi momen yang istimewa bagi setiap orang atau lembaga yang aktif mempromosikan hak asasi manusia. Hal ini didorong oleh satu peristiwa yang menjadi salah satu titik penting dalam proses pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia global, yakni disahkannya “United Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) : Implementing the United Nations ‘Protect, Respect and Remedy’ Framework”. UNGPs merupakan salah satu ikhtiar untuk mempertemukan dan mengompromikan kepentingan bisnis dengan hak asasi manusia.[i] Satu instrumen yang dirancang dan disusun oleh Profesor John Ruggie, Pelapor Khusus untuk Sekjen PBB.
Setelah melalui proses penyusunan, konsultasi dan diskusi yang alot akhirnya Profesor John Ruggie menyerahkan Kerangka PBB “Perlindungan, Penghormatan dan Pemulihan” kepada Dewan Hak Asasi Manusia yang disetujui melalui resolusi A 17/4 pada 16 Juni 2011.[ii] Pengesahan ini berlangsung dengan dukungan yang besar dari semua negara anggota PBB, dan lembaga-lembaga hak asasi manusia nasional maupun internasional.[iii] Dukungan yang besar terhadap pengesahan UNGPs dapat dimaknai bahwa Prinsip-prinsip panduan ini mendapatkan dukungan universal. Dukungan universal ini sangat penting dalam rangka memberlakukan dan Menerapkan Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa “Perlindungan, Penghormatan, dan Pemulihan”.[iv]
Pengesahan Prinsip-Prinsip Panduan ini tidak dapat dilepaskan dari kerja keras selama hampir enam tahun Perwakilan Khusus PBB, John Ruggie, yang diangkat oleh Sekretaris Jenderal PBB pada tahun 2005. Prinsip-prinsip ini merupakan hasil dari konsultasi mendalam dengan berbagai kelompok kepentingan, korporasi, serta pemangku kepentingan lainnya, termasuk masyarakat sipil, pemerintah, dan investor untuk mendukung pengembangan Prinsip-Prinsip Panduan.[v]
Disahkannya Prinsip-Prinsip Panduan ini juga telah memberikan kontribusi tersendiri di dalam wacana perlindungan hak asasi manusia dan bisnis. Nilai-nilai dan prinsip yang tercantum di dalam UNGPs telah banyak diadopsi, adaptasi ataupun diinkorporasikan ke dalam peraturan perundang-undangan, kebijakan publik, norma-norma yang dikembangkan oleh lembaga multistakeholder, praktik dan kebijakan perusahaan ataupun asosiasi perusahaan, serta digunakan sebagai alat advokasi oleh masyarakat sipil.[vi]
Perkembangan yang terjadi pasca UNGPs 2011 seolah memberikan ruang konsensus baru mengenai bagaimana mengintegrasikan dan menerapkan hak asasi manusia dalam praktik bisnis. Apa yang dirancang oleh Profesor John Ruggie ini seolah telah menjadi standar global yang paling otoritatif tentang bisnis dan hak asasi manusia.[vii] Hal ini tampak, antara lain dari beberapa instrumen hak asasi manusia yang dirancang dan dibentuk, baik oleh negara-negara anggota PBB melalui pembentukan National Action Plan on Business and Human Rights/NAPs (Rencana Aksi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia).[viii] Negara-negara Uni Eropa menjadi salah satu pendukung dan pelopor utama dalam mengembangkan UNGPs melalui pengembangan Rencana Aksi Uni Eropa tentang Perilaku Bisnis yang Bertanggung Jawab yang harus menguraikan secara keseluruhan Kerangka kebijakan Eropa untuk meningkatkan implementasi UNGPs.[ix] Demikian juga dengan lembaga-lembaga multi pemangku kepentingan, seperti OECD yang merilis Panduan OECD bagi Perusahaan-Perusahaan Multinasional,[x] dan RSPO yang mengeluarkan “Prinsip dan Kriteria RSPO”[xi] yang secara prinsip mengadopsi dan memasukkan prinsip-prinsip UNGPs.
Perkembangan yang terjadi pada level global tersebut turut memengaruhi situasi dan proses adaptasi nilai-nilai dan prinsip UNGPs ke dalam praktik dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal mana tampak dari berbagai langkah dan kebijakan yang dilakukan Pemerintah Indonesia yang mencoba memahami UNGPs dengan memberikan mandat kepada Kementrian Luar Negeri untuk menyusun Panduan Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia sebagaimana tercermin dalam Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2015-2019 yang telah diubah dengan Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2018.
Langkah dan kebijakan Pemerintah Indonesia tersebut tidak lepas dorongan yang berasal dari lembaga-lembaga hak asasi manusia dan masyarakat sipil yang aktif melakukan pengembangan isu bisnis dan hak asasi manusia. Misalnya pada pertengahan 2017, Komnas HAM bersama-sama dengan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) berinisiatif meluncurkan Rencana Aksi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia (RAN Bisnis dan HAM).[xii] Kemudian inisiatif ini dituangkan dalam bentuk Peraturan Komnas HAM Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengesahan Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM. Walaupun dalam praktiknya, inisiatif Komnas HAM ini tidak mendapatkan dukungan yang besar dari Kementrian/Lembaga maupun asosiasi bisnis untuk menjadikan RAN Bisnis dan HAM ini sebagai kerangka kerja yang dapat diimplementasikan di Indonesia. Tetapi, proses yang dilakukan Komnas HAM ini paling tidak telah memberikan inspirasi bagi kementrian/lembaga lainnya untuk meningkatkan proses pembelajaran dan adaptasi UNGPs ke dalam level nasional.
Selain inisiatif dan dorongan dari lembaga-lembaga hak asasi manusia, peristiwa pelanggaran hak asasi manusia juga turut mempercepat proses adaptasi UNGPs ke dalam peraturan nasional Indonesia, antara lain kasus perbudakan “Benjina”. Kasus perbudakan di Benjina mengemuka setelah kantor berita Associated Press (AP) membuat laporan investigasi. Menurut laporan itu, sejumlah warga Myanmar didatangkan melalui Thailand untuk dipaksa bekerja untuk PT Pusaka Benjina Resources. Di dalam kompleks perusahaan itu terdapat kerangkeng-kerangkeng untuk mengurung “budak-budak” asal Myanmar tersebut dan mereka bekerja 20 hingga 22 jam per hari. Sebagian korban yang bisa diwawancarai AP mengaku akan dicambuk dengan menggunakan buntut ikan pari beracun jika mengeluh atau mencoba beristirahat.[xiii]
Terkuaknya kasus Benjina mendorong Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk menerbitkan Peraturan Menteri No. 35/Permen-KP/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia (HAM) pada Usaha Perikanan. Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (4) Permen HAM Perikanan ini, Menteri berwenang untuk membentuk Tim Hak Asasi Manusia Perikanan. Tim Hak Asasi Manusia memiliki tugas sebagai berikut:
- Menentukan Persyaratan dan kriteria pelaksanaan dan pengawasan sertifikasi HAM Perikanan;
- Mengakreditasi lembaga penilai untuk melakukan tugas penilaian dalam sertifikasi HAM perikanan, lembaga pelatihan HAM perikanan terhadap lembaga, dan lembaga pendukung lainnya;
- Memberikan, menolak, menangguhkan dan mencabut sertifikat HAM perikanan kepada Pengusaha Perikanan; dan
- Melaksanakan tugas dan fungsi lain yang ditugaskan oleh Menteri dalam rangka perlindungan dan penghormatan HAM perikanan.
Secara normatif, Permen HAM Perikanan ini telah mengakomodasi aspek hak asasi manusia di sektor industri perikanan, kerangka kerja Permen ini menjadikan uji tuntas hak asasi manusia sebagai hal wajib yang harus dipenuhi oleh perusahaan perikanan yang akan beroperasi. Namun demikian, dalam praktiknya, implementasi atas Permen HAM Perikanan ini masih memerlukan upaya dan dukungan yang besar untuk dapat dilaksanakan secara komprehensif. Sampai saat ini masih sedikit data-data dan informasi yang menunjukkan pelaksanaan dan tingkat kepatuhan perusahaan-perusahaan perikanan terhadap Permen ini.
Beberapa kemajuan dan langkah diambil oleh pemerintah Indonesia dalam merespon derasnya tuntutan masyarakat internasional terhadap pelanggaran hak asasi manusia sebagai dampak operasi bisnis perusahaan memberikan peluang yang besar bagi Kementrian/Lembaga, khususnya Direktorat Jenderal Hak Asasi Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk melaksanakan berbagai langkah nyata guna mendorong kegiatan usaha/bisnis yang sesuai dengan nilai HAM dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, organisasi masyarakat sipil, akademisi, sektor swasta dan pelaku usaha serta pemangku kepentingan lainnya.[xiv] Selain langkah-langkah yang dilakukan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Maniusia, Pemerintahj Indonesia membentuk Focal Point Bisnis dan Hak Asasi Manusia. Focal Point Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia telah ditunjuk pada tahun 2017. Focal Point Bisnis dan Hak Asasi Manusia berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.[xv] Namun, sejak tahun 2020 peran Focal Point Nasional dialihkan ke Kementerian Hukum dan HAM di bawah koordinasi Ditjen HAM. Hal ini dilakukan untuk memperkuat komitmen Indonesia dalam memenuhi dan menghormati aspek HAM.
Langkah-langkah dan progres yang dilakukan Focal Point Bisnis dan Hak Asasi Manusia dapat dilihat dalam laporan Focal Point yang disampaikan Prabianto Mukti Wibowo, pada UN Forum on Business and Human Rights, Geneva, Switzerland, 26 November 2018:
“Kami telah meningkatkan upaya kolektif kami untuk meningkatkan kesadaran dan kapasitas bisnis dan hak asasi manusia di antara para pemangku kepentingan melalui pengembangan pedoman pelatihan, pelatihan kepekaan, dan dialog berbagai pemangku kepentingan yang diselenggarakan oleh pemerintah, organisasi masyarakat sipil, Indonesia Global Compact Network, sektor swasta dan akademisi”.
Besarnya upaya Pemerintah Indonesia dalam melakukan adopsi dan adaptasi UNGPs telah memberikan nilai tambah bagi Indonesia dalam mengimplementasikan kerangka dan instrumen internasional ke dalam hukum nasional. Namun demikian, Pemerintah Indonesia perlu lebih terbuka untuk merefleksikan capaian dan tantangan yang dihadapi dalam implementasi UNGPs. Bersama-sama dengan semua pemangku kepentingan, Pemerintah Indonesia harus mendiskusikan segala kekurangan dan kelebihan dalam melaksanakan UNGPs, serta bagaimana rencana aksi berikutnya agar UNGPs menjadi integral dalam kebijakan dan praktik bisnsi di Indonesia. Jangan sampai semua upaya yang telah dilakukan ini hanya sebatas “meletakkan upaya diseminatif fondasi relasional antara aktivitas bisnis dan hak asasi manusia”.[xvi] Tidak menjadi bagian integral dan koheren dalam kebijakan dan operasional bisnis. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan Pemerintah Indonesia dan atau tindakan perusahaan-perusahaan di Indonesia yang dianggap tidak mencerminkan tanggung jawab dan kewajiban-kewajiban yang tersurat di dalam UNGPs, antara lain dengan disahkannya UU Cipta Kerja. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menganggap pengesahan RUU Cipta Kerja diperkirakan akan berdampak pada situasi perlindungan hak-hak warga negara. Kelompok marjinal, buruh, masyarakat adat, nelayan, petani dan perempuan akan menjadi korban kebijakan negara yang hanya mendukung investasi dan investor. Kerusakan lingkungan hidup tidak lepas dari ancaman buruk UU Cipta Kerja.[xvii] Hal ini disebabkan karena proses pembahasan dan substansi UU Cipta Kerja tidak sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan negara demokratis.[xviii] Sehingga berpotensi melanggar hak-hak warga negara. Padahal Prinsip-prinsip dasar UNGPs secara jelas telah menggariskan mengenai negara seharusnya “…melindungi dari pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak ketiga, termasuk perusahaan bisnis, di dalam wilayah dan/atau yurisdiksi mereka. Hal ini menuntut diambilnya langkah-langkah yang pantas untuk mencegah, menyelidiki, menghukum dan memulihkan pelanggaran tersebut melalui kebijakan yang efektif, legislasi, peraturan, dan sistem peradilan”,[xix] bukan membentuk satu regulasi yang dianggap akan melanggar hak-hak warga negara.
Demikian juga dengan kalangan bisnis, laporan Komnas HAM sering menempatkan perusahaan sebagai entitas yang banyak diadukan ke Komnas HAM. Laporan Komnas HAM 2019 menyebutkan isu-isu pokok dalam kasus-kasus yang melibatkan perusahaan dan dilaporkan kepada Komnas HAM adalah:[xx]
- terkait dengan ketidakpatuhan korporasi atas aturan-aturan yang berlaku terkait dengan standar jaminan lingkungan hidup yang layak di sekitar wilayah operasinya;
- dalam sengketa ketenagakerjaan pihak yang diadukan adalah korporasi atau perusahaan swasta;
- penggunaan upaya paksa dengan keterlibatan pihak kepolisian dalam sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan dimana pihak kepolisian turut serta dalam melakukan upaya paksa pada saat proses penggusuran.
Situasi ini perlu direspon dengan pendekatan yang tepat, agar model pembentukan “smart mixed” UNGPs sebagaimana dilakukan John Ruggie dapat diadaptasi untuk mengatasi tantangan-tantangan yang dihadapi Indonesia untuk meyakinkan Pemerintah dan kalangan bisnis agar dapat seutuhnya mengadopsi nilai-nilai dan prinsip-prinsip UNGPs ke dalam kehidupan dan praktik di Indonesia. Sehingga klaim Indonesia Sebagai pendukung pembentukan UNGPs pada Juni 2011[xxi] dapat terefleksikan dalam langkah dan kebijakan yang nyata. Tidak hanya karitatif, dan tidak mengalami kemajuan yang berarti. Berbagai komitmen dan agenda perbaikan kondisi HAM yang dimandatkan Nawacita, Rencana Pembangunan Jangka Mengengah Nasional (RPJMN), dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM)[xxii] yang didalamnya terkandung nilai-nilai UNGPs harus menghasilkan pencapaian yang signifikan bagi proses pemajuan dan penghormatan hak asasi manusia di Indonesia.
Endnote:
[i] John Ruggie mendasarkan pendekatannya pada model “smart mixed” yang menggabungkan kewajiban hukum mengikat bagi negara yang berasal dari perjanjian hak asasi manusia internasional dan tanggung jawab etis/moral dari perusahaan yang telah diterima (secara umum). Pendekatan yang dilakukan John Ruggie kemudian sering disebut sebagai “principled pragmatism” (pragmatisme berprinsip). Lengkapnya lihat Implementation of the UN Guiding Principles on Business and Human Rights, European Parlement, EP/EXPO/B/COMMITTEE/FWC/2013-08/Lot8/09, February 2017
[ii] https://www.ohchr.org/documents/publications/guidingprinciplesbusinesshr_en.pdf
[iii] Walaupun tidak dapat dipungkiri terdapat banyak catatan dan kritik dari berbagai pihak, seperti FIDH, Amnesty International dan lembaga-lembaga hak asasi manusia terkemuka lainnya. FIDH (International Federationfor Human Rights)bersama dengan beberapa organisasi masyarakat sipil, menyatakan keprihatinannya pada kelemahan tertentu dalam Prinsip-prinsip Panduan selama proses penyusunan, khususnya pada hak atas pemulihan yang efektif dan kebutuhan atas tindakan Negara “untuk mencegah pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaannya di luar negeri”. Amnesty International dan lembaga-lembaga hak asasi manusia terkemuka lainnya menyatakan bahwa Prinsip-prinsip panduan tidak cukup merefleksikan atau menunjukkan beberapa isu utama, termasuk kewajiban dan tanggungjawab ekstrateritorial, perlunya regulasi yang lebih efektif, hak atas pemulihan dan pertanggungjawaban, dengan cara yang sepenuhnya konsisten dengan standar internasional hak asasi manusia. Sehingga, Prinsip-prinsip Panduan saja tidak dapat berfungsi sebagai seperangkat standar menyeluruh untuk mengatasi berbagai macam masalah dalam bisnis dan hak asasi manusia. Lengkapnya lihat https://www.fidh.org/en/issues/globalisation-human-rights/business-and-human-rights/UN-Human-Rights-Council-adopts
[iv] http://perpustakaan.elsam.or.id/index.php?p=show_detail&id=13480&keywords=prinsip-prinsip
[v] John F. Sherman III, Beyond CSR: The Story of the UN Guiding Principles on Business and Human Rights, https://www.hks.harvard.edu/sites/default/files/centers/mrcbg/files/CRI_AWP_71.pdf
[vi] Dalam konteks Indonesia, perkembangan ini dipotret secara apik oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), dalam bukunya “Perkembangan Bisnis dan HAM di Indonesia”, 2019
[vii] John F. Sherman III, Op Cit, hal 2
[viii] Rencana Aksi Nasional Bisnsi dan Hak Asasi Manusia adalah sebuah dokumen kebijakan yang menguraikan mengenai strategi dan instrumen yang digunakan oleh negara-negara untuk memenuhi tugasnya dalam mencegah dan memulihkan pelanggaran hak asasi manusia yang terkait dengan perusahaan, sebagaimana diatur dalam instrument dan hukum hak asasi manusia internasional dan ditegaskan kembali di dalam pilar pertama dan ketiga UNGPs. Perkembangan terkait NAPs lihat https://globalnaps.org/
[ix] Daniel Augenstein, Mark Dawson, dan Pierre Thielborger, The UNGPs in the European Union: The Open Coordination of Business and Human Rights?, https://www.researchgate.net/publication/322991276_The_UNGPs_in_the_European_Union_The_Open_Coordination_of_Business_and_Human_Rights
[x] https://elsam.or.id/panduan-oecd-bagi-perusahaan-perusahaan-multinasional/
[xi] https://rspo.org/library/lib_files/preview/1079
[xii] https://www.komnasham.go.id/files/20180214-rencana-aksi-nasional-bisnis-dan-$DH79.pdf
[xiii] https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/11/151118_indonesia_benjina_tual
[xiv] Hajerati, S.H, M.H., Direktur Kerjasama, Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia, Kementrian Hukum dan HAM, dalam Webinar Bisnis dan HAM yang diselenggarakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Konsil LSM dkk, 16 Juni 2021
[xv] Ibid
[xvi] Majda El Muhtaj, Pengantar dalam buku “Perkembangan Bisnis dan HAM di Indonesia”, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2019
[xvii] Pernyataan Pers, “Pengesahan UU Cipta Kerja: Masa Kelam Perlindungan Hak Asasi Warga Negara”, 6 Oktober 2020, https://elsam.or.id/pengesahan-uu-cipta-kerja-masa-kelam-perlindungan-hak-asasi-warga-negara/
[xviii] https://nasional.kompas.com/read/2020/08/13/19431491/berpotensi-langgar-ham-komnas-ham-minta-pembahasan-ruu-cipta-kerja-tak.
[xix] https://elsam.or.id/wp-content/uploads/2020/10/Menerapkan-Kerangka-PBB-tentang-Perlindungan-Penghormatandan-Pemulihan_FINAL_OK.pdf
[xx] https://www.komnasham.go.id/files/20201209-laporan-tahunan-komnas-ham-2019-$V1GFW5HE.pdf
[xxi] Op Cit, Hajerati
[xxii] Komnas HAM, Penegakan HAM di Indonesia belum Mengalami Kemajuan, 13 Juli 2020, https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2020/7/13/1480/penegakan-ham-di-indonesia-belum-mengalami-kemajuan.html