Pendahuluan
Tahun 2021 menciptakan momen-momen penting dalam perkembangan wacana dan kebijakan bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia. Momen-momen tersebut terefleksikan dalam berbagai aktivitas Pemerintah Indonesia dalam pengembangan kebijakan bisnis dan hak asasi manusia. Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia (DITJEN HAM), Kementrian Hukum dan Asasi Manusia; Direktorat HAM dan Kemanusiaan Kementrian Luar Negeri; Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Kantor Staf Presiden (KSP) merupakan institusi-institusi negara yang giat dalam pengembangan dan adaptasi UN Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) ke dalam kebijakan dan praktik bisnis di Indonesia.[i]
Langkah dan aktivitas yang dilakukan Kementrian/Lenbaga tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran institusional organisasi masyarakat sipil yang berusaha meyakinkan Pemerintah Indonesia untuk menelurkan satu kebijakan terkait bisnis dan hak asasi manusia.[ii] Masyarakat sipil meyakini bahwa sampai dengan saat ini UNGPs merupakan kerangka kerja otoritatif yang diakui secara global[iii] yang dapat mengompromikan dan menangani dampak bisnis terhadap hak asasi manusia. UNGPs tidak hanya menyediakan panduan dan acuan yang sama bagi negara dan bisnis, tetapi juga alat (tools) yang diproyeksikan dapat menangani (potensi) pelanggaran hak asasi manusia terkait bisnis.[iv] Sehingga, adopsi dan integrasi UNGPs ke dalam kebijakan nasional diharapkan akan mendorong transformasi tanggung jawab bisnis terhadap hak asasi manusia. Untuk itu, pemerintah Indonesia perlu menyalaraskan kebijakan nasional dengan UNGPs agar perusahaan-perusahaan Indonesia bisa menjalankan aktivitas atau operasional sesuai tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).[v]
Dengan adanya penyelarasan kebijakan nasional dengan UNGPs tersebut, secara perlahan bisnis akan memberikan perhatian yang serius terhadap risiko-risiko pada hak asasi manusia, dan bukan hanya risiko terhadap bisnis. Kebijakan nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sangat penting mengingat “experience shows that the State duty to protect human rights cannot be fully realized through voluntary guidelines and self-regulation by companies alone”.[vi] Sehingga dalam jangka panjang, perusahaan-perusahaan akan memiliki standar dan praktik-praktik baik (good business practices), seperti manajemen risiko rantai pasokan pada produk-produk yang dihasilkan, dan memutuskan hubungan dengan mitra bisnis yang terbukti memiliki praktik buruk. Proses seperti ini akan berawal dari gagasan bahwa tanggung jawab utama perusahaan adalah melindungi bisnis.[vii]
Besarnya kontribusi masyarakat sipil Indonesia dalam mendorong adaptasi nilai-nilai dan prinsip UNGPs ke dalam kebijakan dan praktik seyogyanya direspon Pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan kerangka kebijakan yang dapat dijadikan pedoman bagi seluruh operasional perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Sehingga, Indonesia memiliki kerangka kebijakan yang mengadopsi dan menjadikan UNGPs sebagai sandaran nilai dalam proses pembangunan yang menghormati hak asasi manusia. Namun demikian, satu dekade pasca pengesahan UNGPs Indonesia belum memiliki kerangka kebijakan yang berlaku efektif dan mengikat baik bagi negara dan seluruh aparaturnya maupun perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia menjadikan dan menaati nilai-nilai dan prinsip yang terkandung di dalam UNGPs. Padahal sebagai salah satu negara penyokong dilahirkannya UNGPs seharusnya Indonesia memiliki kewajiban moral yang lebih kuat[viii] untuk melanjutkan dan mengimplementasikan langkah yang ditetapkan Prinsip 1 UNGPs, yang menegaskan bahwa:
Negara-negara harus melindungi dari pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak ketiga, termasuk perusahaan bisnis, di dalam wilayah dan/atau yurisdiksi mereka. Hal ini membutuhkan diambilnya langkah-langkah yang pantas untuk mencegah, menyelidiki, menghukum dan memulihkan pelanggaran tersebut melalui kebijakan, legislasi, peraturan, dan sistem peradilan yang efektif.
Tanggung jawab Pemerintah Indonesia tersebut ini tidak dapat dilepaskan dari kewajiban hukum hak asasi manusia internasional yang mewajibkan negara-negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia (setiap) individu yang terdapat di dalam wilayah dan/atau yurisdiksinya. Termasuk didalamnya tugas untuk melindungi (setiap) individu dari pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pihak ketiga, termasuk perusahaan bisnis.[ix] Hal ini tidak dapat dilepaskan dengan posisi dan tanggung jawab Pemerintah terhadap kewajiban hukum yang timbul dari ratifikasi instrumen-instrumen hak asasi manusia. Indonesia sudah meratifikasi 8 (delapan) instrumen hak asasi manusia pokok, dan sejak tahun 1998 aktif menjalankan Deklarasi dan Program Aksi HAM Wina 1993 (Vienna Declaration and Program of Action on Human Rights/VDPA).[x]
UNGPs Belum Diadaptasi di Dalam RANHAM
Tugas Negara untuk melindungi merupakan sebuah standar perilaku. Secara tidak langsung Negara bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh sektor swasta. Negara dapat dikualifikasi melakukan pelanggaran terhadap kewajiban yang telah ditegaskan di dalam hukum hak asasi manusia internasional. Dalam kerangka ini, pelanggaran terhadap hak-hak individu tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada Negara. Karena Negara gagal untuk melakukan langkah-langkah yang nyata untuk mencegah, menyelidiki, menghukum dan memulihkan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh aktor swasta.[xi]
Diterbitkannya Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2015-2019 yang telah diubah dengan Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2018 tidak cukup membantu untuk tidak menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia tidak memiliki orientasi yang jelas dan nyata untuk menjadikan UNGPs sebagai bagian integral dari kebijakan negara dan mengimplementasikannya ke dalam seluruh tatanan operasional bisnis di Indonesia. Hal ini disebabkan karena RANHAM 2015-2019 sama sekali tidak menyinggung keselarasan antara bisnis dan HAM. “Bisnis dan HAM belum diatur sama sekali”.[xii]
Minimnya orientasi Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan kebijakan bisnis dan hak asasi manusia sejatinya akan terkikis seiring dengan adanya pembaruan RANHAM melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Tahun 2021- 2025. Perpres Nomor 53 Tahun 2021 berisi mengenai sejumlah agenda aksi hak asasi manusia yang akan dilaksanakan Pemerintah Indonesia pada rentang waktu 2021-2025.
Perpres ini berisikan dokumen yang memuat sasaran strategis yang digunakan seluruh lembaga negara, pemerintah daerah provinsi dan kabupatenlkota dalam melaksanakan penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM di Indonesia yang substansinya di-klaim telah mengintegrasikan isu bisnis dan hak asasi manusia. Hal mana tampak dari adanya rencana aksi yang memuat isu bisnis dan hak asasi manusia pada setiap kelompok sasaran. Misalnya kelompok sasaran perempuan, ada mandat untuk menjalankan aksi HAM berupa penyusunan peraturan oleh pelaku usaha untuk melindungi hak perempuan di bidang ketenagakerjaan.
Demikian juga dengan kelompok sasaran anak dan disabilitas, ada rencana aksi HAM untuk bebas dari pekerja anak, dan kelompok disabilitas ada aksi untuk mendorong rekrutmen dari kalangan penyandang disabilitas yang dilakukan lembaga pemerintah dan badan usaha. Untuk kelompok masyarakat adat, rencana aksi yang didorong diantaranya meningkatkan partisipasi dalam proses perizinan perusahaan yang berpotensi bersinggungan dengan hak masyarakat adat, misalnya pembukaan lahan baru.[xiii]
Tantangannya adalah, RANHAM 2020-2025 tersebut tidak secara lengkah mengupas langkah-langkah yang akan dilakukan Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan 3 (Tiga) Pilar dalam UNGPs, yakni tanggung jawab negara untuk melindungi, tanggung jawab perusahaan untuk menghormati dan (proses dan mekanisme) pemulihan yang harus dikembangkan pemerintah dan perusahaan. Bagaimana setiap elemen yang terdapat dalam Pilar-pilar UNGPs tersebut akan dilaksanakan melalui RANHAM. Sementara di lain pihak, korporasi dan pemerintah daerah sebagai salah satu organ negara masih menjadi lembaga-lembaga yang paling banyak diadukan sebagai aktor yang diduga terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia.[xiv] Situasi ini sepertinya tidak mencerminkan tanggung jawab dan kewajiban-kewajiban Negara dan korporasi sebagaimana tercantum di dalam UNGPs.
Adzkar Ahsinin dkk berhasil mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi orientasi dan pelaksanaan UNGPs di Indonesia, termasuk kegagalan Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan satu kebijakan mengenai bisnis dan hak asasi manusia. Faktor-faktor tersebut, antara lain:
- Pemerintah Indonesia mengalami kesulitan pemerintah dalam menerjemahkan dan membahasakan Prinsip-Prinsip Panduan PBB ke dalam Bahasa Indonesia untuk membiasakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi pemerintahan dan mengkontekstualisasikannya dengan kondisi dan karakter di Indonesia;
- Perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia kurang dilibatkan dalam upaya pemajuan bisnis dan HAM di Indonesia. Dalam hal ini pemerintah dianggap belum serius mengembangkan kerangka kebijakan untuk merespon isu bisnis dan HAM. Selain itu, pemahaman perusahaan terhadap Prinsip-Prinsip Panduan Bisnis dan HAM juga belum terbangun,
- Strategi advokasi organisasi masyarakat sipil sebagai garda terdepan pengembangan wacana dan kebijakan bisnis dan hak asasi manusia masih terpengaruah pilihan instrument yang akan disokong penuh, apakah lebih memilih instrument yang bersifat voluntary (suka rela), dalam hal ini UNGPs, ataukah dan mandatory (memaksa), yakni legally binding instrument to regulate the activities of transnational corporations and other business enterprises yang saat ini sudah menjadi draft III.[xv]
Selain poin-poin kritis di atas, masih adanya adanya perbedaan persepsi dari berbagai elemen tentang isu bisnis dan hak asasi manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini muncul persepsi bahwa salah satu faktor penghambat pemajuan bisnis dan hak asasi manusia disebabkan oleh negara.[xvi]
Perbedaan persepsi diantara berbagai elemen polisentris dalam implementasi UNGPs dan juga keengganan Pemerintah Indonesia untuk membangun satu kerangka kebijakan bisnis dan hak asasi manusia yang komprehensif merupakan titik kritis dan menjadi tantangan utama[xvii] dalam implementasi UNGPs di Indonesia. Hal ini disebabkan karena persepsi yang berbeda ini merusak koherensi kebijakan yang diperlukan untuk menentukan desain dan implementasi kebijakan yang akan mendorong perilaku bisnis yang bertanggung jawab secara efektif. Hal ini akan berimplikasi pada instrumen yang digunakan untuk mempromosikan bisnis dan hak asasi manusia Saat ini, instrumen-instrumen tersebut didasarkan pada kepentingan kementerian/lembaga negara tertentu, yang posisi dan persepsinya masih berbeda-beda.[xviii]
Rekomendasi
Indonesia memiliki kerangka kebijakan hak asasi manusia yang relatif lengkap. UUD 1945, UU Hak Asasi Manusia dan instrumen lainnya terkait hak asasi manusia seharusnya dapat dijadikan landasan oleh Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan kebijakan nasional yang komprehensif mengenai bisnis dan hak asasi manusia. Salah satu melalui pembentukan Rencana Aksi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia. Rencana Aksi Nasional ini dapat dijadikan sebagai “strategi kebijakan yang dikembangkan untuk melindungi kepentingan warga negara dari dampak yang merugikan (yang ditimbulkan) oleh perusahaan”.
Kelompok Kerja PBB Mengenai Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UN Working Group on Business and Human Rights) merekomendasikan empat kriteria penting yang sangat diperlukan untuk mengembangkan Rencana Aksi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang efektif.
Pertama, pengembangan kebijakan Rencana Aksi Nasional harus didasarkan pada UNGPs. Sebagai instrumen untuk mengimplementasikan UNGPs, Rencana Aksi Nasional secara memadai harus merefleksikan tugas Negara untuk melindungi dari dampak buruk hak asasi manusia terkait bisnis, dan menyediakan akses yang efektif untuk pemulihan.
Rencana Aksi Nasional perlu mempromosikan penghormatan bisnis terhadap hak asasi manusia melalui proses uji tuntas dan langkah-langkah perusahaan untuk memungkinkan akses pemulihan. Selain itu, RAN harus didukung oleh prinsip-prinsip inti hak asasi manusia yaitu non-diskriminasi dan kesetaraan.
Kedua, Rencana Aksi Nasional harus memerhatikan konteks spesifik (context specific) dan menangani pelanggaran hak asasi manusia terkait bisnis yang aktual dan potensial di negara tersebut. Termasuk di dalamnya dampak merugikan yang terjadi di dalam wilayah dan/atau yurisdiksi negara serta dampak yang merugikan yang diakibatkan kegiatan perusahaan di luar yurisdiksi Negara. Pemerintah harus menetapkan langkah-langkah yang terfokus dan realistis yang memberikan dampak sebesar mungkin dalam mencegah dan memulihkan pelanggaran hak asasi manusia.
Ketiga, Rencana Aksi Nasional harus dikembangkan dalam proses yang inklusif dan transparan. Pemangku kepentingan yang relevan perlu diizinkan untuk berpartisipasi dalam pengembangan, dan pembaruan Rencana Aksi Nasional. Pandangan dan pendapat para pemangku kepentingan ini harus dipertimbangkan secara maksimal, dan (seluruh) informasi perlu didiseminasikan secara transparan di semua tahapan proses pengembangan Rencana Aksi Nasional.
Keempat, proses pengembangan Rencana Aksi Nasional harus ditinjau dan diperbarui secara berkala. Setiap perubahan dan konteks yang berubah perlu diadaptasi dalam pengembangan kebijakan Rencana Aksi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia.
Untuk itu, ke depan agar proses pengembangan kebijakan bisnis dan hak asasi manusia memiliki arah dan orientasi yang jelas sebagaimana digariskan oleh UN Working Group on Business and Human Rights, dan tidak sekedar meletakkan upaya diseminatif fondasi relasional antara aktivitas bisnis dan hak asasi manusia, Pemerintah harus menyusun kerangka program dan kegiatan jangka menengah dan Panjang yang difokuskan untuk menghasilkan Rencana Aksi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia atau kebijakan relevan lainnya terkait bisnis dan hak asasi manusia yang secara konsisten dapat dijadikan sandaran untuk mengimplementasikan UNGPs di Indonesia.
Endnote
[i] Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Business-related human rights violations continue unabated in Indonesia without implementation of the UNGPs, https://elsam.or.id/business-related-human-rights-violations-continue-unabated-in-indonesia-without-implementation-of-the-ungps/
[ii] Lihat https://ham.go.id/2021/09/23/ditjen-ham-bersama-kemenkumham-bali-dan-elsam-gelar-bimtek-ranham-untuk-perangkat-daerah-di-wilayah-indonesia-tengah-dan-timur/; https://www.ksi-indonesia.org/id/wawasan/detail/2378-studi-dan-advokasi-elsam-kawal-penghormatan-dan-pemenuhan-ham ; https://nasional.tempo.co/read/1508591/kawal-implementasi-ranham-di-pusat-dan-daerah/full&view=ok ; https://ham.go.id/2021/12/27/ungkap-masyarakat-adat-jadi-pihak-terdampak-dirjen-ham-hadir-dalam-webinar-bertajuk-mengungkap-dampak-bisnis-industri-sawit/ ; dan https://twitter.com/infid_ID/status/1404758230232801284
[iii] ILO, The linkages between international labour standards, the United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights, and National Action Plans on Business and Human Rights, Briefing Note, June 2021, https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—ed_emp/—emp_ent/documents/briefingnote/wcms_800261.pdf
[iv] Beata FARACIK, Implementation of the UN Guiding Principles on Business and Human Rights, European Parliament’s Subcommittee on Human Rights (DROI) English-language manuscript was completed on 2 February 2017, hal 13
[v] Hukum Online, Merajut Bisnis Dan HAM, Sebuah Rencana Aksi Bertema Bisnis dan HAM, 19 Juli 2017, https://www.hukumonline.com/berita/a/sebuah-rencana-aksi-bertema-bisnis-dan-ham-lt596f0f1bb24e4
[vi] GRI, Strengthening business accountability in the National Action Plans on Business and Human Rights: Policy recommendations on transparency, https://www.globalreporting.org/media/lnikk40o/naps-policy.pdf
[vii] Francis West, The Quiet Radicalism Of The Responsibility To Respect: The Strikking Progress and Untapped Potentialof The UNGPs Ten Years Later, June 2021, https://shiftproject.org/ungps-radicalism/
[viii] Iman Prihandono dan Rully Sandra, “Kertas Kebijakan: Menuju Implementasi Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM di Indonesia, INFID, April 2018, hlm.14
[ix] Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia:
Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa “Perlindungan, Penghormatan¸ dan Pemulihan”, Cetakan I : February, 2012, hal 14
[x] Kementrian Luar Negeri, Indonesia dan Hak Asasi Manusia, Thursday, 28/March/2019
https://kemlu.go.id/portal/id/read/40/halaman_list_lainnya/indonesia-dan-hak-asasi-manusia
[xi] Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Op Cit.
[xii] Hukum Online, Op Cit
[xiii] Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Tahun 2021- 2025
[xiv] Komnas HAM: Upaya Penegakkan HAM 2021 Hadapi Banyak Tantangan, Ini Alasannya https://kabar24.bisnis.com/read/20210812/15/1428972/upaya-penegakkan-ham-2021-hadapi-banyak-tantangan-ini-alasannya.
[xv] https://www.ohchr.org/en/hrbodies/hrc/wgtranscorp/pages/igwgontnc.aspx
[xvi] Adzkar Ahsinin dkk, Perkembangan Bisnis dan HAM di Indonesia: Persepsi Negara, Masyarakat Sipil dan Korporasi, Jakarta : ELSAM., 2019
[xvii] Setara Institute menyatakan komitmen tersebut tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan pelaksanaannya. Penegakan HAM pada periode ini berjalan stagnan bahkan mengalami kemunduran di beberapa aspek meskipun beberapa kemajuan juga tercatat. Lengkapnya lihat Indeks Kinerja HAM 2019, https://setara-institute.org/indeks-kinerja-ham-2019/; Sementara Anggota Komnas HAM, Choirul Anam menilai Pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) dinilai banyak mengabaikan hak asasi manusia (HAM), termasuk hak rakyat atas tanah (agraria), https://www.jawapos.com/nasional/hukum-kriminal/19/10/2018/pembangunan-infrastruktur-di-era-jokowi-dinilai-banyak-abaikan-ham/. Sementara hal-hal yang sangat krusial untuk menegaskan Indonesia sebagai hukum, yakni isu hak asasi manusia dan pemberantasan korupsi tidak banyak dikembangkan. (Orientasi kebijakan) Pemerintahan Jokowi kebanyakan menyinggung soal investasi dan infrastruktur. Lengkapnya lihat https://www.hukumonline.com/berita/a/pidato-visi-jokowi-dinilai-abaikan-pentingnya-hukum-dan-ham-lt5d2c44cb5ed9b?page=all
[xviii] Misalnya Komnas HAM mengembangkan Rencana Aksi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia, 2017; Kementrian Luar Negeri mengeluarkan Panduan Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia, 2018; Kemenko Perekonomian menginisiasi Focal Point Bisnis dan Hak Asasi Manusia, yang saat ini pengelolaannya berada dibawah koordinasi Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia. Sementara negara-negara Eropa dan negara lainnya mengembangkan National Action Plan (NAP) on Business and Human Rights, Indonesia mengembangkan Strategi Nasional (STRANAS) Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang prosesnya sudah berjalan tiga tahun terakhir. Terkait NAP lihat https://globalnaps.org/country/