Pendahuluan
Tahun 2023 belum genap lewat satu minggu. Tetapi dinamika dan diskursus mengenai hukum dan hak asasi berkembang dengan cepatnya. Langkah dan kebijakan yang dilaksanakan Presiden Jokowi memicu perdebatan menarik mengenai orientasi pembangunan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Salah satu hal yang mendorong perdebatan adalah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja (PERPPU No. 2 tahun 2022/PERPPU Cipta Kerja).
Kalangan masyakarat sipil menyatakan dikeluarkannya PERPPU No. 2 tahun 2022 merupakan bentuk pembangkangan terhadap Konstitusi; mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan partisipasi bermakna (meaningful participation); melawan putusan Mahkamah Konstitusi; menunjukkan watak otoriterianisme, serta bertentangan dengan kehendak rakyat[i]. PERPPU Cipta Kerja ditengarai akan mengurangi penikmatan hak-hak asasi manusia, khususnya kelompok buruh[ii] dan berdampak secara signifikan terhadap perlindungan lingkungan hidup[iii].
Sementara Pemerintah beranggapan bahwa terdapat kepentingan mendesak yang perlu segera direspon guna mengantisipasi ketidakpastian global dan krisis ekonomi. Sehingga, Indonesia terhindar dari ancaman resesi global dan stagnasi ekonomi. Selain itu, PERPPU No. 2 Tahun 2022 diharapkan mampu memberikan kepastian hukum bagi para pengusaha dan investor yang akan menanamkan modalnya di Indonesia[iv].
Salah satu isu yang mendorong perdebatan adalah fasilitasi dan kemudahan yang diberikan Pemerintah kepada korporasi yang beroperasi dan (akan) berinvestasi di Indonesia. Korporasi seolah mendapatkan dua keistimewaan langsung dari Pemerintah, yakni mendapatkan pelayanan yang optimal dan jaminan imunitas dari tuntutan hukum[v].
Fasilitasi dan kemudahan yang diperoleh korporasi, salah satunya, adalah dihapusnya ketentuan mengenai izin lingkungan, yang kemudian diganti dengan istilah “persetujuan lingkungan”. Di dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha. Sementara dalam PERPPU No. 2 tahun 2022, keputusan kelayakan Lingkungan Hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
Keputusan Pemerintah untuk mengubah terminologi “izin lingkungan” menjadi “persetujuan lingkungan” sepertinya sudah sangat dipertimbangkan secara matang dan semata-mata untuk kemudahan investasi. Hal ini tampak dari Naskah Akademik RUU Cipta Kerja-yang sebagian besar pertimbangan dan substansinya diadopsi dalam PERPPU Cipta Kerja-yang menyatakan bahwa “beberapa ketentuan Undang-Undang terkait Izin Lingkungan yang diubah dan dihapus dengan alasan penyederhanaan perizinan dan penyederhanaan perizinan berusaha…Pemerintah dalam hal ini memegang kendali terhadap kebijakan penyelengaraan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dalam rangka percepatan investasi dan pertumbuhan ekonomi”[vi].
Izin Lingkungan menjadi Persetujuan Lingkungan
Perubahan mendasar yang terjadi paska diterbitkannya Perppu Cipta Kerja adalah perubahan terminologi atau frasa “izin lingkungan” menjadi “persetujuan lingkungan”. Hal ini dilakukan Pemerintah dengan bersandarkan pada ketentuan Pasal 21 dan Pasal 22 PERPPU No. 2 tahun 2022. Pasal 21 dan Pasal 22 PERPPU No. 2 tahun 2022 menjadi landasan dan alasan utama perubahan dan/atau penghapusan beberapa norma dan ketentuan yang sebelumnya diatur dan ditetapkan di dalam UU PPLH.
Pasal 21 PERPPU No. 2 tahun 2022 berbunyi:
Dalam rangka memberikan kemudahan bagi setiap orang dalam memperoleh persetujuan lingkungan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan terkait Perizinan Berusaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).
Selanjutnya Pasal 22 PERPPU No. 2 tahun 2022 menyatakan:
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059) diubah sebagai berikut:
…..
Berdasarkan Pasal 22 tersebut, Pasal 1 angka 35 UU PPLH harus dibaca dan dimaknai dengan rumusan ketentuan yang baru, sebagai berikut:
Persetujuan Lingkungan adalah keputusan kelayakan Lingkungan Hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
Ketentuan Pasal 22 tersebut secara dramatis mengubah ketentuan Pasal 1 angka 35 UU PPLH, yang sebelumnya berbunyi:
Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
Perubahan terminologi atau frasa dari “izin lingkungan” menjadi “persetujuan lingkungan” ini diikuti dengan perubahan persyaratan berusaha yang sebelumnya sangat administratif dan ketat menjadi lebih longgar dan responsif terhadap kebutuhan bisnis dan kepentingan investor. Hal ini tampak dari dihapuskannya ketentuan Pasal 40 UU PPLH yang menetapkan bahwa izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Penghapusan ketentuan ini seolah mensiratkan bahwa Perizinan Berusaha “pasti” akan dikeluarkan oleh pejabat, instansi/lembaga yang berwenang ketika diajukan permohonan persetujuan lingkungan oleh pelaku usaha dan/atau kegiatan.
PERPPU No. 2 tahun 2022 juga menghapus ketentuan Pasal 36 UU PPLH mengenai kewajiban setiap (pelaku) usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL untuk memiliki izin lingkungan. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya klausul mengenai kewenangan menteri, gubernur, atau bupati/walikota untuk menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL[vii].
Namun, Perizinan Berusaha masih dapat dibatalkan apabila[viii]:
- persyaratan yang diajukan dalam permohonan Perizinan Berusaha mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
- penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan kelayakan Lingkungan Hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan Lingkungan Hidup; atau
- kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
Meskipun PERPPU No. 2 tahun 2022 memberikan peluang dibatalkannya Perizinan Berusaha, namun pembatalan Perizinan Berusaha tersebut hanya dapat dilakukan oleh instansi dan/atau lembaga yang memberikan izin. Tidak terdapat peluang atau kesempatan instansi/lembaga diluar pemberi izin, masyarakat dan/atau pihak lainnya untuk terlibat atau mengajukan upaya untuk membatalkan Perizinan Berusaha yang dikeluarkan oleh pejabat atau lembaga/instansi pemberi izin. Hal ini disebabkan karena PERPPU No. 2 tahun 2022 telah menghapus ketentuan Pasal 38 UU PPLH yang sebelumnya memberikan kesempatan kepada pihak lain yang berkepentingan untuk mengajukan gugatan pembatalan izin lingkungan (persetujuan lingkungan) melalui pengadilan tata usaha negara. Sehingga, secara terbuka Pemerintah memposisikan persetujuan lingkungan bukan sebagai keputusan tata usaha negara (KTUN) yang dapat menjadi objek gugatan pada peradilan tata usaha negara.
Menggali Makna “Izin” Dalam Hukum Administrasi Negara
Adanya perubahan istilah atau frasa dari “izin” menjadi “persetujuan” dalam PERPPU No. 2 tahun 2022 menarik untuk menelisiknya secara lebih dalam. Kira-kira bagaimana pengertian mengenai “izin” dan “persetujuan” dalam konteks hukum administrasi di Indonesia.
Dalam literatur hukum administrasi Belanda dan Indonesia ditemukan berbagai penyebutan peristilahan perizinan. Dalam literatur hukum administrasi Belanda, ditemukan penyebutan berbagai peristilahan yang maksudnya menunjuk pada peristilahan perijinan, antara lain: ijin (vergunning), persetujuan (toestemming), kebebasan (oktheffing), pembebasan (vrijstelling), pembatasan dan kewajiban (verlog), kelonggaran/keringanan (dispensatie), pemberian kuasa, persetujuan (goedkeuring) dan konsensi. Namun, diantara peristilahan yang sifatnya genus dan banyak digunakan adalah istilah vergunning (izin), sedangkan istilah lainnya merupakan peristilahan yang sifatnya species[ix].
Secara umum izin dianggap sebagai suatu perkenan dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan atau kegiatan yang pada umumnya memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki[x].
Sebagai instrumen yuridis, izin digunakan oleh pemerintah untuk memengaruhi masyarakat agar mengikuti cara yang dianjurkan guna mencapai tujuan konkret yang dihendaki oleh Pemerintah. Dalam hal ini izin berfungsi selaku ujung tombak instrumen hukum sebagai pengarah, perekayasa, dan perancang (perilaku/tindakan) masyarakat.
Izin juga dapat digunakan oleh Penguasa sebagai salah satu instrumen hukum untuk membatasi hak-hak dasar atau kebebasan seseorang untuk bertindak. Segala sesuatu yang akan dilakukan yang memerlukan izin, terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah. Dalam hal ini izin berkaitan dengan kewenangan administratif yang dimiliki oleh pemerintah sebagai salah satu sarana untuk mengawasi aktifitas masyarakat dan untuk kebaikan masyarakat[xi].
Sjahran Basah mendefinisikan izin sebagai suatu perbuatan hukum administrasi Negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkrit berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan[xii].
Marbun dan Mahfud memberikan pengertian izin, “apabila pembuat peraturan secara umum, tidak melarang suatu perbuatan asal saja dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku”. Perbuatan Administrasi Negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat izin[xiii]. Sementara Lutfi Efendi memaknai izin sebagai suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan. Izin dapat juga diartikan sebagai dispensasi atau pelepasan/pembebasan dari suatu larangan[xiv]. Dalam konteks ini, akan ditemukan berbagai bentuk perizinan yang dapat dikeluarkan oleh pemerintah, seperti izin, dispensasi, lisensi, konsesi, rekomendasi, dan lain sebagainya[xv].
Izin yang diberikan oleh penguasa sangat berpengaruh terhadap kegiatan masyarakat dikarenakan izin tersebut memperbolehkan seseorang untuk melakukan tindakan atau kegiatan tertentu yang sebenarnya dilarang. Untuk menjaga keseimbangan dan kepentingan umum, pemerintah atau pemberi izin harus melakukan pengawasan terhadap tindakan atau kegiatan tertentu yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum yang mendapatkan izin tersebut. Sehingga, sistem perizinan membentuk suatu tatanan agar pada setiap kegiatan yang dilakukan dapat diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan dampak yang muncul sebagai akibat dikeluarkannya izin terhadap usaha atau kegiatan yang dilakukan masyarakat, menarik untuk memperhatikan karakteristik suatu izin. Izin merupakan salah satu instrumen yang digunakan dalam hukum administrasi yang digunakan Pemerintah sebagai sarana yuridis untuk mengatur tingkah laku masyarakat. Karakter izin adalah konstitutif, yakni keputusan tata usaha negara yang melahirkan hak dan kewajiban. Dengan suatu izin, seseorang memiliki hak untuk melakukan suatu kegiatan (usaha) tertentu. Demikian juga, tanpa izin, seseorang tidak diperbolehkan melakukan sesuatu kegiatan tertentu[xvi].
Dalam konteks ini, izin dijadikan sebagai norma pengatur atau norma pengendali agar masyarakat dalam melakukan suatu kegiatan tertentu haruslah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karenanya, izin dapat dijadikan sebagai sarana atau instrumen “pencegahan” (preventieve instrumenten) yang tujuan utamanya adalah mencegah perilaku menyimpang dari masyarakat agar memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
Instrumen hukum yang digunakan untuk membatasi hak-hak dasar atau kebebasan seseorang untuk bertindak adalah izin. Secara yuridis izin adalah kewenangan administratif yang dimiliki oleh pemerintah sebagai salah satu sarana untuk mengawasi aktifitas masyarakat. Izin adalah persetujuan yang didasarkan pada kekuasaan mengatur pemerintah beralaskan hukum dimaksudkan sebagai alat untuk kebaikan bagi masyarakat. Dalam implementasinya sebagaio bagian dari cita-cita pemerintahan yang baik, dibutuhkan aparat yang profesional, jujur, terbuka dan bebas korupsi. Perizinan merupakan salah satu instrumen Hukum Administrasi yang paling populer dalam membatasi kebebasan seseorang.
Izin sebagai instrumen yuridis pemerintah memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi penertib dan fungsi mengatur[xvii]. Sebagai fungsi penertib, dimaksudkan agar setiap izin yang berhubungan dengan usaha atau kegiatan-kegiatan masyarakat tidak bertentangan satu sama lainnya, sehingga ketertiban dalam kehidupan masyarakat dapat terwujud. Sedangkan izin sebagai fungsi pengatur dimaksudkan agar perizinan dapat dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari segi normanya, izin memiliki karakter sebagai norma yang berhubungan (gelede normstelling). Peraturan yang digunakan sebagai landasan perizinan adalah legislasi dan regulasi yang saling berhubungan menunjuk pola kewenangan, prosedur, substansi maupun penegakan hukumnya. Sehingga, perumusan legislasi dan regulasi yang benar sangat diperlukan untuk menghindari terjadinya konflik norma. Oleh karenanya pada umumnya sistem perizinan biasanya berkaitan dengan:
- Larangan;
- Kewajiban;
- Persetujuan yang merupakan dasar kekecualian (izin);
- Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan izin.
Menelusuri Terminologi “Persetujuan” dalam Perppu Cipta Kerja
Adanya perubahan terminologi “izin lingkungan” menjadi “persetujuan lingkungan” di dalam Perppu Cipta Kerja menarik untuk ditelusuri secara mendalam, khususnya yang berkaitan dengan asal dan makna kata “persetujuan”. Naskah Akademik RUU Cipta Kerja dapat menjadi salah satu referensi otoritatif untuk menganalisa orientasi Pemerintah dalam menetapkan perubahan frasa “izin lingkungan” menjadi “persetujuan lingkungan”.
Aspek waktu dan biaya dalam pembuatan perizinan berusaha menjadi dasar argumentasi utama terjadinya perubahan nomenklatur “izin” menjadi “persetujuan”. Waktu yang diperlukan untuk membuat perijinan berusaha dianggap sangat membebani pelaku usaha. Demikian juga dengan biaya yang besar dalam proses perijinan yang sangat menggangu Indonesia untuk menjadi negara tujuan investor. Hal ini sempat dikeluhkan salah satu pelaku usaha, Muhammad Kusrin ketika bertemu dengan Presiden Jokowi pada 25 Januari 2016. “Kusrin baru sadar kalau usaha perakitan televisi (yang dijalaninya), sekalipun memanfaatkan barang bekas rongsokan tabung monitor komputer, harus dilengkapi izin usaha dan tetek-bengek lain”[xviii].
Menurut Pemerintah, situasi yang dialami Kusrin tersebut berpotensi mengganggu prospek Indonesia untuk menaikkan peringkat Ease of Doing Business (EODB) atau Kemudahan Berusaha Indonesia. Oleh karenanya, sejumlah perbaikan, bahkan upaya ekstra, baik dari aspek peraturan maupun prosedur perizinan dan biaya harus dilakukan[xix].
Respon Pemerintah terhadap sulitnya proses perijinan berusaha dituangkan di dalam Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, yang berbunyi[xx]:
Perubahan mengenai izin lingkungan perlu dilakukan dengan tidak lagi menggunakan terminologi izin lingkungan, sebagaimana konsepsi yang akan dibangun dalam RUU Cipta Kerja. Dengan demikian terminologi izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka (35) dihapus. Dalam praktik pelaksanaannya, usaha/kegiatan yang wajib amdal ataupun UKL-UPL membutuhkan waktu maupun biaya yang cukup besar untuk menyelesaikan dokumen lingkungan tersebut.
Berkaitan dengan perubahan frasa “izin” menjadi “persetujuan” yang mengubah beberapa ketentuan di dalam UU PPLH, memang tidak terdapat pada bab atau bagian mengenai evaluasi terhadap UU PPLH. Namun, masih dapat ditelusuri pada bagian-bagian lain di dalam Naskah Akademik RUU Cipta Kerja.
Pembahasan mengenai frasa “persetujuan” dapat ditemui pada Bab II yang salah satunya membahas mengenai “teori hubungan kerja”. Pembahasan mengenai “teori hubungan kerja” menguraikan mengenai syarat dan sah-nya perjanjian yang mengacu pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang mengatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, yakni :
- kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri;
- cakap untuk membuat perikatan;
- suatu hal tertentu/diperjanjikan, dan
- suatu sebab atau causa yang halal (tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata inilah yang ditengarai mendorong Pemerintah untuk menggunakan frasa “persetujuan” dan kemudian mengubah ketentuan mengenai “izin” menjadi “persetujuan” di dalam UU PPLH. Adaptasi ini didasari oleh pendapat Pemerintah yang menyatakan bahwa “salah satu bentuk wewenang Presiden sebagai penguasa yang berwenang dalam administrasi pemerintahan adalah wewenang dalam bidang pengaturan untuk menghadapi hal yang individual dan konkrit berupa perizinan[xxi].
Proses adaptasi mengenai “izin” menjadi “persetujuan” ini tidak dapat dilepaskan dari politik hukum dalam penyusunan RUU Cipta Kerja yang berupaya untuk menyesuaikan nomenklatur perizinan yang ada dalam setiap Undang-undang dengan rumusan yang berisifat general, sehingga memberikan fleksibiltas pemerintah dalam mengantisipasi dinamika masyarakat dan global. Apabila Pemerintah tidak menyesuaikan kebijakan regulasi perizinan, akan berdampak pada kesulitan Indonesia untuk berkompetisi dengan negara tetangga[xxii].
Terkait dengan frasa “persetujuan”, merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), persetujuan merupakan kata benda (nomina) yang dapat diartikan sebagai pernyataan setuju (atau pernyataan menyetujui); pembenaran (pengesahan, perkenan, dan sebagainya), dan kata sepakat (antara kedua belah pihak).
Persetujuan juga dapat dimaknai sebagai “sesuatu (perjanjian dan sebagainya) yang telah disetujui oleh kedua belah pihak dan sebagainya”. Dengan demikian, menurut (KBBI), arti kata persetujuan adalah pernyataan setuju (atau pernyataan menyetujui)[xxiii].
Sementara dalam hukum, makna atau maksud “persetujuan” lebih banyak dibahas dan didiskusikan sebagai suatu hal yang berkaitan perjanjian (perikatan). Dalam ini para ahli hukum banyak merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata. Hal ini bersesuaian dengan kerangka pikir yang ditetapkan oleh Pemerintah ketika merujuk Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian ketika membahas mengenai hubungan pekerjaan.
Perjanjian merupakan sumber yang sangat penting dari suatu perikatan sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1233 KUHPerdata, tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang. Dalam hal ini, suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak setuju untuk melakukan sesuatu, dalam hal ini “Pemerintah bersama-sama dengan Pelaku Usaha dan/atau kegiatan sama-sama menyetujui dilakukannya suatu usaha dan/atau kegiatan bisnis yang dilakukan dalam kerangka hukum Indonesia”. Dari proses persetujuan tersebut mengindikasikan adanya “perjanjian” antara Pemerintah dengan Pelaku Usaha dan/atau Kegiatan.
Apabila merujuk pada Pasal 1313 KUHPerdata “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap suatu orang atau lebih”. Berdasarkan ketentuan ini, diketahui bahwa persetujuan atau perjanjian hanya dapat dilakukan oleh orang terhadap orang lain. Pola perjanjian yang diatur pada Pasal 1313 KUHPerdata tersebut dalam praktiknya tidak hanya terjadi antara individu dengan individu melainkan dapat terjadi antara individu dengan badan hukum dan/atau perikatan yang terjadi antara badan hukum dengan badan hukum.
Prof. Subekti dalam bukunya “Hukum Perjanjian” menjelaskan bahwa perjanjian dan persetujuan adalah sama, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Perjanjian didefinisikan Subekti “Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal” [xxiv].
Sementara Abdulkadir Muhammad[xxv] menggunakan istilah persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (konsensus) untuk syarat kesepakatan. Persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seia sekata antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Sebelum adanya persetujuan, biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan (negoitiation) dimana pihak yang satu memberitahukan kepada pihak yang lain mengenai pula kehendaknya sehingga tercapai persetujuan.
Penutup
Perubahan nomenklatur “izin lingkungan” menjadi “persetujuan lingkungan” di dalam Perppu Cipta Kerja tidak dapat dilepaskan dari orientasi pembangunan ekonomi yang dijadikan tumpuan utama Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu. Fasilitasi dan kemudahan perizinan merupakan conditio sine qua non yang mesti dijalankan oleh Pemerintahan saat ini guna mendatangkan sebanyak-banyaknya investor. Sehingga, apa yang menjadi target pembangunan akan tercapai. Namun demikian, partisipasi masyarakat yang terdampak pembangunan dan operasional bisnis harus diperhatikan secara optimal. Dampak-dampak pembangunan, khususnya yang terkait hak asasi manusia dan lingkungan, biasanya akan dirasakan atau terjadi setelah 10-15 tahun pembangunan atau operasional perusahaan berjalan. Oleh karenanya, kemudahan-kemudahan dan persetujuan yang diberikan kepada pelaku usaha dan/atau investor harus tetap memperhatikan keselamatan dan perlindungan hak-hak asasi manusia dan keberlanjutan lingkungan.
vvvv
[i] https://ylbhi.or.id/informasi/siaran-pers/penerbitan-perpu-omnibus-law-uu-cipta-kerja-kudeta-atas-konstitusi-menunjukkan-otoritarianisme-pemerintahan-jokowi/;
https://news.detik.com/berita/d-6494954/kontras-desak-jokowi-batalkan-perppu-cipta-kerja;
[ii] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230102122802-92-895026/daftar-5-aturan-di-perppu-ciptaker-yang-dinilai-buruh-merugikan
[iii] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230106062721-20-896826/daftar-pasal-perppu-ciptaker-yang-dianggap-perburuk-lingkungan
[iv] https://www.hukumonline.com/berita/a/perppu-cipta-kerja-diharapkan-beri-kepastian-hukum-bagi-pengusaha-dan-investor-lt63af3ba3e0503
[v] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230105143718-92-896606/perppu-ciptaker-hapus-peran-pemerhati-lingkungan-pada-penyusunan-amdal
[vi] Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, hal 156
[vii] Sebelumnya diatur di dalam Pasal 37 ayat 1 UU PPLH
[viii] Pasal 37 UU PPLH (pasca diubah dengan PERPPU)
[ix] Vera Rimbawani Sushanty, S.H., M.H, Buku Ajar Hukum Administrasi, Fakultas Hukum Univ. Bhayangkara Surabaya, 2020
[x] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (UII Press, Yogyakarta: 2003). Hal. 158
[xi] Nur Asiyah, Strategi Implementasi Perizinan dan Sanksi Administratif Sebagai Pembatasan Kebebasan Bertindak, dalam Jurnal Hukum Samudera Keadilam, Volume 12 No. I, Januari-Juni 2017, https://media.neliti.com/media/publications/240387-strategi-implementasi-perizinan-dan-sank-94333c35.pdf
[xii] https://dpmptsp.babelprov.go.id/content/hukum-perizinan
[xiii] Marbun dan Mahfud, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, (Liberty, Yogyakarta: 1987), Hal. 27.
[xiv] Lutfi Efendi, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, (Bayumedia Sakti Group, Malang: 2004), Hal. 30.
[xv] Fathoni, Konstruksi Makna Izin Sebagai Instrumen Pengendalian Versus Kebijakan Kemudahan Investasi di Provinsi Lampung, Jurnal Hukum Peratun, Volume 1 Nomor 1, Maret 2018:79 -100,
https://jurnalhukumperatun.mahkamahagung.go.id/index.php/peratun/article/view/21/6
[xvi] Tatiek Sri Djatmiati, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Hukum Administrasi pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 24 November 2007
[xvii] Bayi Priyono, Perizinan sebagai Sarana Pengendalian Penataan Ruang dalam Perspektif Pemanfaatan Ruang di Daerah, Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah Volume VIII, Edisi 2
[xviii] https://kemenperin.go.id/artikel/14182/Halangan-Terakhir-Bernama-Perizinan-(Habis)
[xix] https://www.kominfo.go.id/content/detail/7401/paket-kebijakan-ekonomi-xii-pangkas-izin-prosedur-waktu-dan-biaya-untuk-kemudahan-usaha/0/artikel_gpr
[xx] Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, hal 155
[xxi] Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, hal 71
[xxii] Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, hal 341-342
[xxiii] https://kbbi.lektur.id/persetujuan
[xxiv] Dr. Joko Sriwidodo, S.H.,M.H.,M.Kn.,CLA. Dr. Kristiawanto, S.H.I.,M.H., Memahami Hukum Perikatan, Penerbit Kepel Press, 2021, hal 104
[xxv] Loc.Cit