Aktivitas manusia memiliki dampak dramatis yang memengaruhi perubahan iklim bumi. Konsentrasi karbon dioksida (CO2) telah meningkat secara signifikan menjadi lebih dari dua kali lipat dari masa pra-industri; dan hanya dalam satu tahun yang dimulai pada tahun 2017, peningkatannya lebih cepat daripada dekade sebelumnya (GCLR, UNEP, 2020).
Perubahan yang terjadi secara cepat tersebut tentunya berdampak buruk terhadap planet bumi dan manusia. Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau (Intergovernmentan Panel on Climate Change /IPCC) menunjukkan perubahan iklim tersebut dampaknya berpotensi sangat buruk bagi peradaban dunia. Hal ini antara lain tampak dari mencairnya gletser, menghilangnya lapisan salju, berkurangnya es laut, naiknya permukaan laut, pengasaman lautan, gelombang pasang, curah hujan yang semakin sering, kebakaran hutan, dan kenaikan suhu yang sangat tinggi.
Untuk itu, negara-negara di dunia perlu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang relevan untuk menangani secara serius isu perubahan iklim. Salah satu yang dapat dilakukan adalah melakukan transformasi energi. Secara perlahan mengurangi ketergantungan penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara, dan mulai mengalihkan ke bahan bakar yang bersih dan terbarukan. Langkah lainnya adalah menghentikan laju deforestasi hingga mencapai nol deforestasi (Kompas.com – 16/08/2021).
Selain menunggu adanya kebijakan yang responsif dari Negara mengenai perubahan iklim, sebagian kelompok masyarakat di beberapa negara berusaha mengingatkan para pengambil kebijakan negara dan korporasi yang berkontribusi terhadap perubahan iklim untuk mengambil langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Langkah ini dilakukan dengan mengajukan gugatan-gugatan terhadap Pemerintah dan Pihak Swasta yang dianggap bertanggung jawab terhadap peningkatan dan perubahan suhu bumi.
Gugatan-gugatan ini diajukan untuk meminta Pemerintah dan Pihak Swasta mempercepat upaya pengurangan emisi dan melakukan langkah-langkah adaptasi yang relevan untuk mengatasi perubahan iklim, serta memulihkan kerusakan-kerusakan yang terjadi.
Gugatan-gugatan yang diajukan kelompok masyarakat terkait perubahan iklim tersebut sering juga disebut litigasi strategis perubahan iklim. Litigasi strategis perubahan iklim adalah penggunaan sarana dan mekanisme peradilan guna untuk mengatasi ketidakadilan yang belum ditangani secara memadai dalam hal perubahan iklim yang merugikan masyarakat dan lingkungan hidup.
Litigasi perubahan iklim dianggap semakin penting sebagai cara untuk memajukan atau menunda tindakan efektif terhadap perubahan iklim. Hal ini juga bertujuan untuk membawa perubahan sosial yang luas di luar lingkup kasus individu yang dihadapi. Sehingga memberikan kesempatan kepada orang-orang yang terkena dampak perubahan iklim untuk dilihat dan didengar. Harapannya, akan mendorong terjadinya diskusi dan pengembangan wacana mengenai pelanggaran hak-hak masyarakat dan lingkungan, serta menyoroti kelemahan dan kesenjangan kebijakan negara yang berdampak pada meluasnya perubahan iklim.
Secara umum, litigasi strategis perubahan iklim merupakan bagian dari strategi untuk mempromosikan hak asasi manusia. Kasus-kasus yang diajukan diharapkan akan menjadi preseden hukum yang penting dengan mengungkap ketidakadilan secara terbuka, meningkatkan kesadaran dan membawa perubahan dalam undang-undang, kebijakan, dan praktik kenegaraan. Litigasi strategis dapat memiliki dampak jangka panjang pada sejumlah besar orang di tingkat nasional, regional atau internasional.
Joana Setzer dan Catherine Higham mencatat, sampai dengan 31 Mei 2021 terdapat 1.841 kasus litigasi perubahan iklim dari seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, 1.387 diajukan ke pengadilan di Amerika Serikat, sementara 454 sisanya diajukan di 39 negara lain, dan 13 pengadilan dan tribunal internasional atau regional (termasuk pengadilan Uni Eropa). Kasus lainnya diajukan di Australia (115), Inggris (73) dan Uni Eropa (58). (Setzer J and Higham C (2021) Global trends in climate change litigation: 2021 snapshot).